Wahai diri, tidakkah kau tahu,
bahwa kini ksatria penjaga benteng pertahananmu mulai lelah?
Tidakkah kau sadar,
bahwa segenap energinya habis menguap,
hanya untuk mendinginkan aliran perasaan yang memagma pijar?
Mengalir bersama waktu, memenuhi ruang hampa yang tak juga kunjung terisi?
Tidakkah kau lihat,
dibalik benteng itu, tersimpan sebongkah hati?
Ia terbungkus rapi, di dalam ruang yang selalu rapat terkunci.
Apa kau mau terus menunggu,
hingga akhirnya ruang itu meledak—tak sanggup menampung muntahan lahar emosi?
Emosi yang terpenjara oleh sumpah serapah semenjak bayi.
Apakah itu yang kau harapkan, hai diri?