Panglima Kebangkitan (Musikal)

Wahai diri, tidakkah kau tahu,
bahwa kini ksatria penjaga benteng pertahananmu mulai lelah?

Tidakkah kau sadar,
bahwa segenap energinya habis menguap,
hanya untuk mendinginkan aliran perasaan yang memagma pijar?
Mengalir bersama waktu, memenuhi ruang hampa yang tak juga kunjung terisi?

Tidakkah kau lihat,
dibalik benteng itu, tersimpan sebongkah hati?
Ia terbungkus rapi, di dalam ruang yang selalu rapat terkunci.

Apa kau mau terus menunggu,
hingga akhirnya ruang itu meledak—tak sanggup menampung muntahan lahar emosi?
Emosi yang terpenjara oleh sumpah serapah semenjak bayi.
Apakah itu yang kau harapkan, hai diri?

Lihatlah, matamu yang mulai kuyu itu.
Sibuk memeriksa hamparan semak belukar, memanen dusta.
Lihatlah binatang-binatang fikiran itu, semakin besar saja.
Menjadikannya induk bagi anak-anak prasangka, tak mampu dilogika.
Apa kau tega, membiarkan mereka yatim piatu, kemudian diasuh oleh hawa nafsu?

Simaklah hari-harimu yang kian gelisah,
kesana-kemari mengasah tajam naluri. Memikirkan hal-hal tak terkendali.
Apa kau tidak bosan, mencincang halus potongan kesempatan dan melemparkannya ke dalam kuali berminyak keraguan?
Terus saja fokus pada resep jamuan sempurna, bukannya meracik kesempurnaan dari bahan yang telah ada.
Masalahnya, bagaimana kalau engkau mati kelaparan?

Mungkin, dirimu ini merasa sepi.
Bukan karena tiada orang memanggil, tapi kau terlalu sibuk mendengar ilusi,
menyimak panggilan kesunyian, yang kau mainkan sendiri.

Engkau mencari orang yang bersedia menemani,
sedangkan dia yang ada dalam jiwa kautinggalkan sendiri.
Berkali-kali mengutuk kesendirian, tapi diri sendiri jarang ditemani.

Maka hari ini, ijinkan aku membawamu pergi,
jauh dari kungkungan istana masa lalu, yang berdiri kokoh ini.
Agar engkau bisa melihat, bahwa panglima yang seruannya menggertak tembok tirani,
bukanlah ia yang namanya terlukis di bilik pertahanan diri.
Bukan pula ia yang datang dari pelosok negeri, menghampiri kebun hati dengan kereta kuda poni.

Tapi panglima itu adalah dirimu sendiri.
Ya, dirimu sendiri yang mampu menggerakkan roda zaman dengan kekuatan titipan Tuhan.

Panglima itu adalah dirimu sendiri.
Ia yang memiliki hati sekuat besi.
Tak mudah leleh diterpa bisikan-bisikan saitani.
Namun bisa menjadi makin kuat dan berani karena tempaan berkali-kali.

Saksikanlah, bahwa engkau bukanlah seorang pengemis.
Bukan orang egois yang berteriak menuntut sejahtera,
sedang rasa ketidakmampuan itu terus saja menyelimuti diri.
Bagaimana mungkin ruang kemakmuran bisa ditegakkan,
bila neraca perdagangan tidak digerakkan,
bahkan tiang pondasinya saja tidak didirikan?

Hatimu, bukanlah hati para pengecut:
Hati-hati yang berserikat dengan bara dalam sekam, menuntut kemerdekaan.
Sedang hasrat keberaniannya telah padam, dibungkam oleh jasad kepercayaan yang terbujur kaku, kehabisan nafas.

Adalah dirimu, panglima yang sudah Allah pilihkan di antara sekian makhlukNya,
menjadi pemimpin dari sekalian pasukan alam.

Bukankah gunung dan laut pun tak mampu memikulnya?
Bukankah malaikat pun sempat tak sepakat?
Lalu apa hendak kau kata, saat Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap diri kita adalah pemimpin, dan kelak kepemimpinan itu akan dimintai pertanggungjawabannya” ?

Kalaulah bukan karena ketidakpiawaian kita menjalankannya,
siapkah ketika kita ditanya “Mengapa menghindar dan enggan menjalankannya?”

Bergeraklah, hai Panglima Kebangkitan diri!

‪#‎PelangiMalam‬
5 Januari 2015 03.00

What do you think?