Cinta Tanpa Definisi

Entah, harus kusebut apa pertengkaran ini. Sudah berkali-kali kujelaskan, tetap saja kamu tak mengerti. Entah harus dengan bahasa apa lagi, agar pesanku bisa kamu pahami.

Bahwa aku tak pernah mau lagi memberi cinta atau perasaan apapun itu, sebuah definisi. Karena definisi itu terkadang membatasi. Seharusnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan hati—termasuk cinta—itu tak terdefinisi. Sebab hati tak berkuota, maka apa yang ada di dalamnya pun selayaknya tak berbatas.

“Jadi, maksudmu cinta di antara kita ini akan lebih indah tanpa definisi?” tanyamu seraya membanting surat yang katanya susah payah kau buat untukku, sejak seminggu lalu. Continue reading

Marilah Melangkah

Aku tidak pernah—atau setidaknya belum—tahu apa yang akan membuatku bertahan, berjalan seirama menemani langkahmu di jalan penuh liku ini. Mungkin suatu saat aku akan ragu, sama sepertimu sebelum memutuskan untuk mendatangiku. Bahkan mungkin jauh lebih bimbang, dibanding saat pertama kau menanyakan kesiapanku.

Aku yang terlahir dengan segala keterbatasan ini, tentu saja mengharapkan siapapun yang kelak bersedia menemani, sudah siap dengan segala ketidakmungkinan. Dan yang jauh lebih penting lagi, siap menerima konsekuensi apapun yang lahir dari keajabian nan mustahil.

Bukan keajaiban namanya, bila tak menyisakan sebuah tanya. Begitupun dengan hadirmu yang bagiku adalah sebuah keajaiban. Betapa tidak, ketika seisi dunia menolak, masih saja ada yang menerima, dan itu adalah dirimu. Maka aku pun bertanya, “Benarkah apa yang kamu katakan itu? Kamu yakin, tak salah memilihku?”

Continue reading

Kilas Balik

Berpapasan dengan masa lalu adalah hal yang terkadang rumit. Karena saat kau berjalan, tiba-tiba ada kekuatan rahasia yang memaksamu menoleh ke belakang, meski sebentar.

Berpapasan dengan masa lalu ibarat menyulam kembali kain yang telah usang. Menyatukan lembar demi lembar kenangan yang pernah terabaikan. Menutupi luka dengan menjahit sisa-sisa benang merah, menyembunyikannya perlahan. Berdalih bahwa luka itu tak pernah ada. Tapi mulut sibuk berbisik, bersama dengan desahan nafas yang menyiksa.

Bertemu denganmu layaknya sebuah rekonstruksi. Menarik garis harapan sepanjang urat nadi, mencipta proyeksi. Menelusuri jejak-jejak ilusi yang buatku mati suri. Menyusun kembali puing-puing sejarah yang terlupa, juga menata potongan kejadian demi kejadian bersamamu yang diikat oleh balutan emosi.

Continue reading

Panglima Kebangkitan (Musikal)

Wahai diri, tidakkah kau tahu,
bahwa kini ksatria penjaga benteng pertahananmu mulai lelah?

Tidakkah kau sadar,
bahwa segenap energinya habis menguap,
hanya untuk mendinginkan aliran perasaan yang memagma pijar?
Mengalir bersama waktu, memenuhi ruang hampa yang tak juga kunjung terisi?

Tidakkah kau lihat,
dibalik benteng itu, tersimpan sebongkah hati?
Ia terbungkus rapi, di dalam ruang yang selalu rapat terkunci.

Apa kau mau terus menunggu,
hingga akhirnya ruang itu meledak—tak sanggup menampung muntahan lahar emosi?
Emosi yang terpenjara oleh sumpah serapah semenjak bayi.
Apakah itu yang kau harapkan, hai diri?

Continue reading

Panglima Kebangkitan

Wahai diri, tidakkah kau tahu bahwa kini ksatria penjaga benteng pertahananmu mulai lelah?

Tidakkah kau sadar, bahwa segenap energinya telah habis menguap, hanya untuk mendinginkan aliran perasaan yang memagma pijar. Mengalir bersama waktu, demi memenuhi ruang hampa yang tak kunjung bisa terisi?

Sedang dibalik benteng itu, tersimpan ruang penyimpanan hati yang selalu rapat terkunci. Apa kau bermaksud menunggu, hingga akhirnya ruang itu meledak—tak sanggup menampung muntahan lahar emosi yang terpenjara oleh sumpah serapah semenjak bayi? Apakah itu yang kau harapkan, hai diri?

Continue reading