Tawaran Spesial

Kembali Aku menagih janji Tuhan—setelah sekian lama menunggu—untuk memberiku jawaban dari segala keresahan. Kebimbangan atas rasa penasaran yang terus diburu waktu. Waktu yang setiap detiknya membuatku ragu, “Haruskah aku menerima tawaran ini?”

Sinta, masih terekam jelas kegelisahanmu karena tak setuju atas perjodohanmu denganku. Pun begitu denganku, ada rasa yang menyeruak seketika kumembaca surat itu. Surat yang bertuliskan tangan lengkap dengan tandatangan orangtuamu.

“Putri kami ini adalah satu-satunya bidadari kecil yang ada di rumah. Sayang, bila sampai akhir hayat kami nanti, ia masih sendiri dan kedua sayapnya tak ada yang melengkapi.

Mas, kami lihat Mas Tenri ini adalah orang yang pantas untuk menemaninya di keluarga nanti. Maka dengan segala kerendahan hati, kami menawarkan posisi yang lebih tinggi dari pekerjaan Mas sekarang. Menjadi pemimpin perusahaan keluarga, keluarga yang dibangun bersama putri kami ini.

Kami sudah siapkan segala sesuatunya, tinggal kesediaan dari Mas sendiri untuk segera menempati posisi penting ini.

Sudilah kiranya nak Mas menerima tawaran kami.”

Begitulah kurang lebih isi surat itu, penuh khidmat dan kerendahan hati. Intinya, jauh lebih elegan dibanding tawaran serupa dari ibu kosan—yang entahlah harus kusebut bercanda atau sungguhan—2 bulan yang lalu. Continue reading